BUOL-Kemitraan Inti-Plasma dalam Perkebunan sawit, melalui pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) maupun Revitalisasi Perkebunan yang dijalankan oleh PT. Hardaya Inti Plantations (PT. HIP) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah terbukti merugikan pemilik lahan dan cenderung mengarah pada praktek Land
Grabbing (perampasan tanah) berkedok Kerjasama/kemitraan.
Hal ini di ungkapkan oleh Fatrisia Ain Koordinator FPPB dalam rilisnya tertanggal 8 Januari 2024
" Lebih dari 16 tahun kemitraan pembangunan kebun plasma antara petani pemilik lahan melalui 7 koperasi dengan PT. HIP dengan pola managemen satu atap (dikelola Inti), yang melibatkan + 4.934 orang dengan luas lahan + 6.746 ha, telah merugikan pemilik lahan dan hanya menguntungkan pihak PT. HIP. Ungkapnya
Menurutnya Lahan-lahan yang dikerjasamakan untuk Pembangunan kebun plasma merupakan lahan hak milik Masyarakat berupa, lahan usaha dua (LU.2) Transmigrasi, lahan Transmigrasi Swa Mandiri (TSM), lahan ulayat dan lahan-lahan produktif masyarakat.
Lanjutnya, Setiap hari kebun-kebun plasma menghasilkan hingga ratusan ton Tandan Buah Segar (TBS) tetapi pemilik lahan tidak diberikan bagi hasil kebun, sebaliknya para pemilik lahan justru dibebani utang hingga + Rp.590.134.723.530, sungguh beban utang yang tidak masuk akal.
" Terlebih beban utang juga diberikan kepada dua dari tujuh koperasi yang telah lunas utang kredit di bank, "kata Patriasia.
Fatrisa menambahkan, Selain itu pihak PT. HIP secara sepihak mengambil sertifikat hak milik (SHM) jaminan utang kredit di Bank yang sudah lunas dan menahan SHM hingga saat ini.
Pengelolaan kebun plasma melalui menejemen satu atap (dikelola oleh PT. HIP), menjadikan pemilik lahan tidak dilibatkan dalam pengelolaan kebun, sehingga mereka tidak memiliki akses informasi mengenai pengelolaan kebun, mulai dari pembangunan kebun, perawatan kebun hingga hasil panen sehingga rentan manipulatif.
"Sistem ini diperburuk oleh pengurus-pengurus koperasi yang tidak transparan bahkan bertolak belakang dengan aspirasi pemilik lahan sebagai anggotanya, "ujar Patriasia.
Menurutnya, Praktek kemitraan ini telah menyebabkan para pemilik lahan kehilangan mata pencaharian dari tanah mereka yang dikerjasamakan, sehingga banyak diantara mereka menjadi buruh tani, termasuk sebagian dari mereka terpaksa menjadi buruh tempel (bantu) yang tidak terdaftar sebagai buruh PT. HIP sehingga tidak mendapat jaminank eselamatan kerja dan hak-hak lain sebagaimana buruh pada umumnya.
" Pekerjaan ini terpaksa dilakukan karena tidak ada pilhan lain, meskipun dengan resiko kerja yang berbahaya, dengan pendapatan sangat redah hanya rata-rata enam sampai delapan ratus ribu rupiah perbulan." Tutup Fatrisia***